PEMAKAIAN ANTIBIOTIK DILARANG DALAM BUDIDAYA IKAN
& UDANG
(Suara Merdeka, 14 September 02, C. Saparinto)
Sebanyak 5 kontainer produk udang asal Indonesia yang diekspor ditolak
masuk karena diketahui
mengandung residu antibiotik Chloramphenicol. Penggunaan antibiotik banyak
dilakukan dalam budidaya
akuakultur sebagai akibat dari sistem pemeliharaan yang intensif.
Antibiotik biasa digunakan dalam
pemberian terpisah atau lewat pakan dengan tujuan sebagai antisipasi
pencegahan penyakit,
membunuh mikroorganisma dalam pakan sehingga pakan menjadi lebih awet,
memperbaiki sistem
pencernaan hewan untuk menjadi lebih efisien, serta meningkatkan nafsu
makan ikan & udang.
Chloramphenicol biasa digunakan untuk menanggulangi infeksi bakteri
anerobik, aeromonas,
Pseudomonas, Mycoplasma, dan Enteroacteriaceae.
Chloramphenicol telah sejak lama digunakan dalam industri peternakan dan
kedokteran, residunya
menyebabkan kematian pada penderita anemia yang bisa berlanjut ke
leukemia. Antibiotik ini
juga diduga sebagai penyebab timbulnya Gray Baby Sindrome yaitu gejala
bayi berkulit warna
abu-abu, perut kembung, suhu tubuh rendah, susah bernapas, demam, yang
bisa menyebabkan
kematian. Mempertimbangkan bahaya tersebut sudah sejak 1985 USDA CES (Badan
Pengawas
Obat dan Makanan AS) menetapkan chcloramphenicol sebagai obat keras, yang
karenanya
tidak diperbolehkan digunakan dalam budidaya ternak dan ikan. Pemerintah
Indonesia
telah memperketat pelarangan tersebut dengan Ketetapan Pemerintah yaitu
keputusan Menteri
Pertanian No 806/KIts/TN.206/12/94 yang menyatakan chloramphenicol
termasuk dalam
daftar obat keras yang sama sekali tidak diizinkan digunakan untuk hewan.
Penggunaan semua jenis antibiotik dalam industri budidaya perikanan tidak
dianjurkan.
Departemen Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan 11 jenis antibiotik
yang dilarang
digunakan dalam praktek budidaya perikanan (secara langsung maupun lewat
pakan),
yaitu nitrofuran, furazolidone, ronidozol, dapson, chloramphenicol,
cholchicin, chlorpromazin,
chloroform, dimeltidazol, metronidazol, dan aristolochia. Kasus
terbaru adalah kontaminasi
nitrofuran yang juga dialami oleh udang yang diekspor dari beberapa negara
seperti
Thailand, Vietnam, Bangladesh, India termasuk Indonesia ke negara-negara
Uni Eropa.
Dalam upaya memperbaiki mutu produk ekspor dan sesuai dengan tuntutan yang
diminta
oleh negara-negara importir, FAO menganjurkan beberapa metoda budidaya
antara lain :
1. Menerapkan Good Culture Practice (GCP),
2. Mengembangkan penerapan strategi HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point)
yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu Analisis Potensi Bahaya,
Titik-titik Pengendalian
Kritis, Batas-batas Kritis, Prosedur Pemantauan, Tindakan Koreksi,
Pencatatan dan
Prosedur Verifikasi. Sistem HACCP didisain untuk meminimalkan resiko dan
tidak
dapat digunakan untuk meniadakan semua resiko akibat kemungkinan
terjadinya
bahaya ketidakamanan makanan. Meskipun demikian sistem HACCP diharapkan
mampu meningkatkan mutu produk dan menetralisir ganjalan dari
negara-negara
konsumen.
|